Jumat, 01 Mei 2009

FOLLOWERS or DISCIPLES

"And you--would you also like to leave?"

If you are followers of course you will go to leave HIM. Why? Because they are can’t listen what the Jesus teaching. Jesus teaching is very hard to them. They follow Jesus to find a joy but they receive a hard preaching. They choose to leave Jesus.

If you are disciples of course you will stay there. The pure disciples will answer like Simon Peter. "Lord, to whom would we go? You have the words that give eternal life”. Jesus is Road to be happiness. He is Door to get the eternal life. He is true GOD. So that everyone who believes in HIM may have eternal life.

Who are you? Are you the followers or the disciples? If you run while heard the Jesus preach so you are the true followers but if you still there you are the true disciple.

How to be followers and disciple both? You must transform from followers to disciple. In first we are followers, but we must grow up to be disciples. Let’s follow HIM with big love. Many of us feel quite uneasy because we have to admit that we do not love GOD. Many of us give pre-requirement to love GOD. “Yes, I would like to love GOD, but …”.  Let’s love HIM without pre-requirement and we will be a disciple.

 

Pilgrim



Life is a pilgrim. We are on the earth, and sooner or later we shall reach our destination. That destination we call heaven. There we shall see GOD as HE is, and that experience will be the cause of a happiness which will be complete and have no end. We are made for that.

Road to heaven is full of challenge. That challenge can bring us to the temptation. Sin will be greatest challenge in the road. However that challenge will be lost if we still belief in GOD, love HIM in all of our live.

Life is pilgrim and our pilgrim is effort to know GOD, to love HIM and serve HIM in this world, and to be happy with HIM forever in the next.    

Rabu, 29 April 2009

My Self

My name is Waris. Every one call’s me Romo Waris because I am a priest and call name to a priest is romo. In Javanese mindset waris have meaning lucky. May be my parent give me name waris with a hope so that I have lucky in my life.

I was born in Tumpakrejo – Malang at September 1th 1977. I am first born child from three brothers. I have one brother and one sister. Now I called uncle because my sister just born her son. I am happy while called uncle.

I live in my village until 15 years, exactly until graduate from junior high school. Pass of junior high school I continued my study in seminary. Seminary is place to educate the priest candidate. I undergo education to be priest as long 13 years. I graduate to be priest at 2005.

As a priest I must live in monastery. Live in monastery that very happy because our live will be regulated nicely. Live with a regulated nicely will make us health. Of course we will find some priest live in unregulated nicely. May their job make them live like that, but part of all priest live in regulated nicely.

Orderliness live can be find in daily schedule. I the morning we must wake up at 04.30 and take a bath. At 05.00 we must come together in a chapel to held prayer and daily Mass. After that we have to come together in a dining room to breakfast. After breakfast we held our job. Some priests go to school to teach or work in library like me, some priest work in secretary room and the other priest work in garden or kitchen.

In the mid day we come together in the chapel again to held prayer. After that we lunch.  After lunch we have free time to take a rest and some time to self develop. At 19.00 we come together again to prayer and continued with dinner. After dinner we get time to recreation with play card or watching television. After that we take a rest. This schedule will be held every day and become our habit.

I believe that good habit will make a good character and good character will make a good person. I am happy because have a good schedule that make me a good habit. Thank God for this live. 

Kamis, 16 April 2009

Sepiring Nasi Lodeh

Benar kata para ahli kuliner, bahwa suasana sangat memengaruhi kenikmatan sebuah menu makanan. Jenis dan macamnya bisa sangat sederhana, tetapi tatkala disantap pada saat yang tepat, suasana yang memikat, rasanya tak akan pernah meninggalkan ilat.

Seperti malam itu, jangan bayangkan makan di sebuah warung apalagi resto, ini adalah makan di refter ‘padang gurun’ Ngadireso, pas saya berpadang gurun. Minggu sore setelah ibadat sore dan adorasi, meski sendirian saya melakukan adorasi mengikuti gaya adorasi dari Puji Syukur. Sekitar jam setengah tujuh saya selesai. Lokasi kapel bersebelahan dengan refter, maka saya langsung menuju refter. Di atas meja sudah tersaji satu nampan yang tertutup taplak dengan rapi. Spontan saya buka dan melihat isinya, ouw, lodeh Labu Jepang, dan telur dadar, hanya itu! Tambah nasi putih ding!

Mau langsung makan rasanya kok belum afdol. Baru jam setengah tujuh, maka aku kembali ke bilik. Di sana saya melanjutkan aktivitas membaca renungan/catatan Beata Elisabet dari Tritunggal, bagian retret terakhir. Karena kemampuan Inggris saya nilainya C minus panjang, maka untuk memahami satu renungan dibutuhkan waktu kurang lebih dua jam, terkadang lebih, tidak pernah lebih cepat dari itu.

Tengah asyik membolak-balik kamus untuk mencari arti kata hujan turun dengan derasnya. Waduh, belum makan sudah hujan. Tetapi tidak masalah masih jam tujuh, palingan sebentar lagi juga reda. Maka aktivitas membolak-balik kamus dilanjutkan, hanya membolak-balik, karena ga ngerti-ngerti, hehehehehe. Tiba-tiba perutku melakukan interupsi (belum demonstrasi), krucuk-krucuk-krucuk-krucuk, wah minta diisi ini, komentarku spontan. Tapi hujan masih dueras, kulirik jam, wuih sudah jam delapan, pantes cacing-cacing ini  sudah teriak-teriak minta jatah. Akhirnya dengan sedikit berlari aku terjang hujan, …. Dan hupp, nyampek juga di refter.

Tapi…….. semuanya dingin. Udara dingin, nasi dingin, sayur dingin, dan telor juga dingin. Wah, ga nendang nih, harus cari akal biar bisa nendang. Aku buka lemari yang selama 3 hari ini aku biarkan teronggok angkuh di sudut ruangan. Di sana kutemukan baskom kecil dan teko. Ini nih sumber kebahagiaan, sayur lodeh aku tuang ke baskom alumunium kecil, aku tambah air sedikit dannnn aku taruh di atas kompor yang telah kunyalakan, tunggu sebentar sayur telah menjadi panas. Sementara makan aku juga tak lupa menjerang air, persiapan buat sekoteng. Hehehehe di padang gurun juga ada sekoteng, nyaman tenan.

Ternyata, sayur lodeh yang aku tambahi air sebagai kuah, dan yang telah aku panaskan, telah mengubah segalanya. Lodeh yang tadi dingin membeku sekarang bergolak mengepulkan uap yang merangsang lidah. Pokoke kemecer tenan(sorry aku gunakan kata kemecer, kata yang lain tidak senendang kemecer artinya).  Beberapa potong cabe nampak melambai-lambai menatang untuk segera aku cedok. Diiringi dendang pete yang diiris tipis menambah semarak baskom kecil itu. Hmmm, mak nyusss tenan.

Entah karena perut yang sudah lapar atau karena memang lodehnya uenak tenan, jatah yang mestinya bisa untuk berdua itu ludes-des tak santap sendiri. Seluruh kuah aku tuang ke piring, dan slurp-slurp-slurp, wah kuah lodeh kok sueeeger tenan kayak es sirsat campur degan diberi susu, nyahok, dan yang pasti nendang habis.

Habis makan aku melirik sana-sini, membuka apa yang bisa dibuka. Dan kutemukan lima butir jeruk (kecil) jangan bayangkan jeruk bali, hehehe, ini jeruk yang ga ada isinya itu, yang orange-orange itu. Wah komplit deh, lodehnya nueeendang, telornya yah lumayan, sekarang pencuci mulutnya jeruk. Sapa bilang padang gurun tidak ada kenikmatan, kalau begini terus keluar dari pdang gurun perut makin tambun, hehehehe.

Pesan:

1.     1.  Kebahagiaan itu bisa lahir dari yang sederhana, bukan hanya sepotong tahu atau setusuk sate, atau semangkuk gulai, tapi juga karena semangkuk lodeh. (yang panas tentunya)

2.      2. Keadaan bisa menyusahkan, tetapi dengan sedikit kreativitas penderitaan bisa berubah menjadi kebahagiaan.

3.      3. Slogan mengubah kelemahan menjadi kekuatan dan tantangan menjadi harapan memang bukan slogan kosong, namun itu membutuhkan sedikit kerja keras untuk mewujudkannya.

4.      4. Kalau ingin bahagia harus sedikit kreatif dan terampil (yang positif lo ya, hehehehe).

5.      5. Sikap menerima apa adanya itu sangat luhur, tidak suka menuntut, tidak nganeh-nganehi itu sangat baik, toh tidak dilarang kreatif dengan apa yang ada, asal tidak mengada-ada. (ungkapan syukur atas anugerah bumi dan kreasi kerja manusia, ini juga ungkapan syukur yang besar kepada Tuhan.)

6.      6. Kalau ingin menikmati lodeh, tunggulah suasana dingin, dan panaskan lodehnya, dijamin, wahhh ga akan terlupa.

O iya, hampir lupa. Lima biji jeruk tadi aku habiskan semua, rasanya luar biasa, manis, kalau ga manis ga habislah. Namun pada biji yang kelima, entah karena sudah kenyang atau apa, jeruk itu terasa sangat asam, kecut banget. Bah, sebutir jeruk ini telah menggangu kenikmatan makan malamku yang nyaris sempurna. Maka pesan kelima adalah ….

7.      7. Jangan serakah, jangan rakus, tahu bataslah. Seandainya hanya tiga butir jeruk yang aku makan, pasti kesannya akan sangat mendalam.

8.      8.  Menurut Romo Heri putranya Pak Sawolo, sayur lodeh itu menjadi enak karena menimbulkan rasa tambah.

9.      9. Sedangkan menurut Romo Kwek, sayur lodeh itu menjadi lezat karena rasah mbayar.

10.  10. Sedangkan menurut Bruder Nungky, lodeh itu menjadi enak karena. Rasa kakean cangkem, kari mangan ae kakean cangkem, wah mak nyuss.!!!!

Salam

Waris.